Korut Eksekusi Warga di Depan Publik karena Ketahuan Nonton Film Asing
Korut Eksekusi Warga di Depan Publik karena Ketahuan Nonton Film Asing--ist
SILAMPARITV.CO.ID - Korea Utara kembali menjadi sorotan dunia setelah laporan terbaru Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap praktik eksekusi publik terhadap warganya yang kedapatan menonton maupun menyebarkan film asing. Temuan ini disampaikan pada Jumat (12/9/2025), sebagaimana dilansir Euronews.
BACA JUGA:Eko Patrio Bantah Ngumpet di Luar Negeri Saat Demo
BACA JUGA:Presiden Prabowo Blusukan ke Gang-Gang Sempit Terdampak Banjir di Bali
Hukuman Mati untuk Konten Asing
Sejak Kim Jong Un berkuasa pada 2011, pemerintah Korea Utara memperketat aturan yang memungkinkan penggunaan hukuman mati. Salah satunya terkait larangan keras terhadap konsumsi dan distribusi konten media asing, yang dianggap mengancam ideologi negara.
BACA JUGA:Motor Paman Digelapkan, Pemuda Asal Lubuklinggau Masuk Bui.
BACA JUGA:Prabowo Setujui Penarikan Dana Rp. 200 Triliun Pemerintah dari BI
Menurut narasumber yang diwawancarai PBB, sejak 2020 eksekusi terhadap pelanggaran ini semakin sering dilakukan. Mereka yang terbukti bersalah dieksekusi regu tembak di depan publik, dengan tujuan memberi efek jera kepada masyarakat.
BACA JUGA:Polisi Lalai Terbitkan SKCK, Tersangka Pembunuhan Malah Jadi Anggota DPRD.
BACA JUGA:PLN Pulihkan Listrik Pascabencana, Warga Bali Kembali Beraktivitas
“Eksekusi dilakukan di hadapan warga lain agar tidak ada yang berani meniru perbuatan tersebut,” ungkap laporan tersebut.
BACA JUGA:Pos Ronda Kembali Jalan, Mendagri Minta RT/RW Tingkatkan Keamanan Lingkungan.
BACA JUGA:Charlie Kirk, Pendukung Trump Ditembak Mati di Universitas Utah
Pelanggaran Hak Dasar Warga
Selain hukuman mati, laporan PBB juga menyoroti pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga Korea Utara. Kekurangan pangan disebut sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, bukan semata kondisi alam.
Di sisi lain, kerja paksa di lokasi berbahaya seperti tambang batu bara juga meningkat. Kelompok paling rentan seperti anak yatim dan keluarga miskin disebut sering dipaksa bekerja di tempat berisiko tinggi.
BACA JUGA:Ini Alasan Kementerian PU Tarik Diri dari Pembangunan IKN Mulai 2026
BACA JUGA:Dorong Santri Adaptif, Gibran Tekankan Pentingnya Belajar AI dan Coding
Negara yang Semakin Tertutup
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara dengan lebih dari 300 pelarian Korea Utara selama 10 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa Korea Utara kini semakin tertutup dan penuh dengan propaganda negara.
BACA JUGA:KPK Bongkar Modus Aliran Uang Ridwan Kamil ke Lisa Mariana
BACA JUGA:Lonjakan Konten TNI di Media Sosial Saat Demo Pembubaran DPR
Seorang pelarian menyebut peningkatan razia beberapa tahun terakhir sebagai upaya rezim untuk “menutup mata dan telinga rakyat” dari dunia luar.
“Itu bentuk kontrol untuk menghapus tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan sekecil apa pun,” kata salah satu pelarian.
BACA JUGA:Dirut Pertamina Tegaskan Tak Ada Monopoli BBM untuk SPBU Swasta
BACA JUGA:Bambang Pamungkas Jadi Direktur Olahraga Persija Jakarta
Reaksi PBB
Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Turk, menyebut 10 tahun terakhir sebagai dekade yang hilang bagi Korea Utara.
“Dan menyedihkan untuk saya katakan, jika Korea Utara terus berada di jalur yang sama, rakyatnya akan menghadapi penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang sudah terlalu lama mereka rasakan,” ujar Turk.
BACA JUGA:Prabowo Setuju Bentuk Tim Reformasi Kepolisian
Meski penuh tekanan, laporan itu juga mengungkap adanya keinginan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan generasi muda Korea Utara.
BACA JUGA:Beras Mahal di Musi Rawas, Warga Serbu Pasar Murah Polsek Tugumulyo.
BACA JUGA:Pengedar Narkoba Tertangkap Basah Saat Menimbang Sabu di Kontrakan Musi Rawas
Sumber: