Mengenal Sejarah Kota Lubuklinggau: Menuju Kota Metropolitan

Sabtu 27-01-2024,20:00 WIB
Reporter : Reza Aditya
Editor : Ayu Fitriani

Namun, keberadaannya mulai terlihat ketika Belanda membangun jaringan kereta api Palembang-Lahat-Lubuk Linggau antara tahun 1928 sampai 1932. Ketika itu, Desa Lubuk Linggau menjadi ujung jaringan jalan rel kereta api Palembang-Lahat-Lubuk Linggau, padahal ibu kota dari wilayah Onder Afdeling Musi Ulu adalah Muara Beliti (belasan kilometer di luar Kota Lubuk Linggau sekarang ini).

Masuknya Belanda ke wilayah ini, menurut buku Selayang Pandang Kabupaten Musi Rawas, terjadi setelah jatuhnya Kesultanan Palembang, serta enam Pasirah dari Pasemah Lebar ke tangan Pemerintah Belanda sekitar tahun 1866. Sejak saat itu, Belanda mengadakan ekspansi dan penyusunan pemerintahan di daerah ulu Palembang yang berhasil dikuasainya, dengan menggunakan metode dekonsentrasi.

Karesidenan Palembang kemudian dibagi atas wilayah binaan (Afdeling) Banyuasin en Kubustreken dengan ibu kota Palembang, Afdeling Palembangsche Beneden Landen (ibu kota Baturaja), dan Afdeling Palembangsche Boven Landen (ibu kota Lahat).

Untuk Afdeling Palembangsche Boven Landen, terdapat lima Onder Afdeling (Oafd), yaitu Oafd Lematang Ulu (ibu kota Lahat), Oafd Tanah Pasemah (Bandar), Oafd Lematang Ilir (Muara Enim), Oafd Musi Ulu (Muara Beliti), dan Oafd Rawas (Surulangun Rawas).

BACA JUGA:Melibatkan Jiwa dan Gerak: Keindahan dan Sejarah Tari Kecak di Bali

Ditinjau dari segi kepraktisan pemerintahan, sejak pembangunan jalan rel kereta api itu, Muara Beliti dinilai tidak bisa dipertahankan lagi sebagai ibu kota Oafd Musi Ulu, sehingga pada tahun 1933 ibu kota pindah ke Lubuk Linggau. Meskipun demikian, kedudukan Lubuk Linggau sebagai ibu kota Kabupaten Musi Rawas, tercatat resmi tanggal 20 April 1943 setelah Oafd Musi Ulu digabung dengan Oafd Rawas.

Pada tanggal 17 Februari 1942, pasukan Jepang mulai masuk ke Lubuklinggau menggunakan kereta api dari rute Kertapati, Palembang. Tujuannya ialah untuk mengambil alih kekuasaan Belanda yang telah kalah dalam Perang Asia Timur Raya yang bertekuk lutut di bawah bendera Hinomaru Jepang.

Pada hari itu, juga dilaksanakan serah terima pemegang kekuasaan Belanda atas wilayah Onder Afdeeling Moesie Oeloe dari controleur De Mey kepada pihak militer Jepang yang diwakili oleh Cato. Sejak saat itu, gedung controleur yang didiami bekas De Mey diambil alih menjadi tempat kediaman Cato sebagai kepala pemerintahan.

Perhatian pemerintah Jepang terkonsentrasi di Lubuklinggau sebagai ibu kota Bunshu Musikami Rawas, seperti sektor-sektor vital seperti Perkebunan Karet di Belalau, Perkebunan Kepala Sawit di Air Temam, Mesat dan Taba Pingin yang dikelola oleh orang Switzerland ini tidak luput dari pengawasan Jepang.

BACA JUGA:Tren Teknologi Kamera Pengintai di Tahun 2024, Semakin Canggih dan Mudah Digunakan

Pada masa awal kemerdekaan, Lubuk Linggau pernah dijadikan sebagai pusat perjuangan Sumatera Selatan, Juli 1947 sampai Desember 1948, sebagai markas “Subkoss Garuda Sriwijaya”.

Pada waktu Clash I tahun 1947, Lubuklinggau dijadikan ibu kota pemerintahan Provinsi Sumatera Bagian Selatan. Tahun 1948 Lubuklinggau menjadi ibu kota Kabupaten Musi Ulu Rawas dan tetap sebagai ibu kota Karesidenan Palembang.

Pada tahun 1956, Lubuklinggau menjadi ibu kota daerah Swatantra Tingkat II Musi Rawas. Tahun 1981 dengan PP 38/1981 Lubuklinggau ditetapkan statusnya sebagai Kota Administratif.

Kemudian pada 2001 dengan UU 7/2001 tanggal 21 Juni 2001 Lubuklinggau statusnya ditingkatkan menjadi Kota. Pada 17 Oktober 2001, Kota Lubuklinggau diresmikan menjadi daerah otonom. *

Kategori :