TASIKMALAYA – Kematian seorang siswa SD di Tasikmalaya awalnya dianggap sebagai hal biasa. Namun belakangan diketahui latar belakang peristiwa yang membuat miris.
Bocah tersebut ternyata sering menjadi korban perundungan teman-temannya. Dan terakhir dia dipaksa menyetubuhi kucing dan direkam HP teman-temannya.
Sebelum meninggal bocah tersebut dirawat depresi dan menjadi penyendiri setelah video itu tersebar.
Dia bahkan tak mau makan dan minum hingga dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan, dua tahun selama pandemi, tak ada peristiwa bullying. Tapi barangkali selama itu pula anak-anak menyaksikan berbagai perilaku manusia di media sosial.
Menurut dia, imajinasi mereka akhirnya terpupuk menjadi sedemikian liar. Dan begitu masa sekolah tatap muka kembali dibuka, imajinasi gila itu seperti menemukan ruang penyalurannya.
Reza menyoroti itu dari sisi kata bullying yang menurut dia terdengar lucu. ”Bullying tidak mengesankan sebagai sesuatu yang parah, serius, dan mengerikan. Alhasil, kita seolah mengalami desensitisasi akibat malah akrab dengan bunyi yang lucu ketika kata itu diucapkan. Bullying toh juga bukan istilah hukum,” ujar Reza.
Reza menyarankan untuk menghentikan penggunaan kata bullying yang malah mengundang salah kaprah atau bahkan penyepelean. ”Pakai saja sebagai gantinya, istilah hukum. Misalnya kekerasan atau bahkan kejahatan. Betapa pun kata itu tidak bisa dikenakan kepada anak-anak. Untuk anak-anak, sebutan yang boleh dipakai adalah kenakalan atau delinkuensi. Tapi itu pun tidak sepenuhnya mewakili bobot keseriusan fenomena dimaksud seperti kejadian di Tasikmalaya,” ucap Reza.
”Jadi, mari kita seriuskan saja,” tambah dia.
Dalam kasus di Tasikmalaya lanjut Reza, bisa disimpulkan anak-anak itu sebagai orang yang diduga melakukan setidaknya empat tindak pidana. Yaitu, kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa.
”Ingat, satwanya jangan dinihilkan. Jadi bisa kenakan pasal berlapis terhadap mereka,” tutur Reza.
Selain itu, dia menambahkan, setara dengan perbuatannya, bawa para pelaku yang berusia anak-anak itu ke proses hukum. ”Jangan diversi. Harus litigasi. Orang tua mereka harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut,” ujar Reza.
Menurut dia, nanti, andai anak-anak itu divonis bersalah, bisa diterapkan kombinasi antara restorative justice dan incapacitation.
”Siang direstorasi, dididik, dan diharuskan membayar ganti rugi kepada korban, malam hari dimasukkan ke bui,” ujar Reza.
”Itu ekspektasi saya. Terus terang saya tak yakin bahwa mengembalikan anak-anak itu ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif. Tapi UU SPPA sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan-jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA,” sambung Reza. (jawapos)