Oleh : Dahlan Iskan
NAMA Alvin Lim mulai disejajarkan dengan Ahok. Sama-sama Tionghoa. Sama-sama punya nasionalisme yang luar biasa. Setidaknya itulah komentar yang muncul di teks video ini. Yakni video yang diunggah oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Galaruwa.
Misi Galaruwa jelas: membela orang miskin dan lemah. Kelihatannya ini kegiatan kemanusiaan dari kalangan gereja Kristen. Ada bagian di kelompok ini yang khusus membagi makanan bagi yang lapar. Ada lagi bagian yang memberikan bantuan hukum. Lalu ada yang khusus menjalankan misi Injil.
Di video itu Galaruwa mewawancarai Alvin Lim. Hampir satu jam. Secara daring. "Saya ini pengacara garis keras," ujar Alvin memperkenalkan diri.
Saya tidak kenal Alvin. Saya tertarik dengan topik yang ia angkat. Itu membuat saya teringat Adnan Buyung Nasution di masa mudanya. Saat si Abang –begitu teman-temannya memanggil Buyung– menjadi pendiri dan pengendali Lembaga Bantuan Hukum, LBH. Waktu itu, kalau bicara LBH, ya hanya satu itu: yang dipimpin si Abang. Beda dengan sekarang: LBH ada di mana-mana, dengan nama belakang yang berbeda-beda, dan dengan misi yang beraneka warna.
Alvin mendirikan kantor pengacara juga. Misinya sama dengan LBH di zaman si Abang. Membantu yang miskin, lemah, dan tertindas. Juga gratis. Namanya: LQ Law Firm. "Setahun saja klien saya sudah 5.000 orang lebih," ujar Alvin.
LQ Law Firm juga membuka cabang di mana-mana. Cabang kelima segera buka di Medan. Ciri khas pengacara di LQ adalah: mengenakan baju dengan desain khusus yang mencolok. Dari jauh pun sudah terlihat bahwa orang itu pengacara dari LQ.
Alvin awalnya bukan pengacara. Ia jauh dari dunia hukum. Sekolahnya ekonomi. SD-nya di Ambarawa, Jateng. Kuliahnya di Berkeley, California, yang kampusnya sekitar 1 jam dari San Francisco. Masternya di bidang perbankan. Di University of Colorado Boulder –yang kampusnya setengah jam dari Denver.
Alvin 10 tahun tinggal di Amerika. Bekerja pun di sana. Di bank. Dengan karir yang cemerlang. Jabatan terakhirnya vice president di bank itu. Gajinya miliar untuk ukuran rupiah. Itu pengakuannya.
Ia juga mengaku tidak begitu paham dengan sistem hukum dan perilaku penegakan hukum di Indonesia. Saat kembali ke Indonesia Alvin masuk penjara. Ia dituduh mencuri anak kecil. Berumur 1 tahun. Alvin dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.
Anak kecil itu adalah anaknya sendiri. Hasil perkawinan dengan sang istri –putri seorang pengusaha otomotif merek Honda. Ia bercerai dengan sang istri. Ia ingin merawat anak itu. Ia ambil si anak saat tidak ada ibunya.
Keluar penjara itu barulah Alvin belajar hukum. Ia kuliah di satu perguruan tinggi swasta –mungkin Anda pernah dengar namanya: STIH Gunung Jati, Tangerang. Lalu mendirikan kantor hukum itu.
Hasil pemikiran dan pengalaman hidupnya ia rumuskan secara sederhana: hukum di Indonesia itu ditentukan oleh dua hal. Yakni kekuasaan dan uang. Untuk menang dalam satu perkara, katanya, harus menggunakan kekuasaan atau uang. Atau dua-duanya.
Alvin akan melawan dua hal itu. Secara keras. Konsisten. Nyata.
Alvin mengandalkan unsur ketiga dalam memenangkan perkara: viralkan di media. Terutama di medsos. Kekuasaan dan kekayaan kini bisa dilawan dengan media baru: viral.