Musim Panas
No Name
Mau nanya ini ah. Mumpung tidak out off topik. Ada hubungan-nya dengan dunia digital. Prospektus MTEL itu awal aktanya kok cuma 2 step. Step awal, modal sekitar 205 B. Tiba-tiba berubah jadi T pada step 2. Jumlah saham melebar. Harga dari 2280 ke 228?. "Dari tahun 1995-2021". Tidak ada catatan stock split, cuma mengeluarkan saham baru dari portepel. Lanjut, Telkom buy back apa gimana?. Ada perubahan komposisi soalnya. Terutama pemilik lama "TM Communication (HK) Limited", pas tak cari infonya lewat google sudah larut. Terus di jual lagi ke Citibank SG, terus INA masuk gitu iya?. "Ini nanya serius karena nggak paham. Terutama Telkom buy back di harga berapa?".
Dacoll Bns
Alhamdulillah TV yg dibelikan mertua saya 4 tahun lalu sudah support untuk menangkap digital broadcast tanpa STB, sekitar 2-3 bulan lalu sy coba2 untuk seqarch otomatis dan ternyata tertangkap 830 an channel. Alamak, banyak kali… Ternyata ada beberapa yg masih siaran percobaan (sepertinya TV lokal) dan beberapa yg loncat channelnya, jadi 830 itu cuma channel yg dipilih TV nya untuk broadcast… Cuma sayangnya kalau antena kena angin, channelnya langsung gelap gulita dan gak ada semut lagi kayak TV analog. Kualitas gambarnya memang top banget, bening kayak nonton pakai parabola jaman dulu , cuma masih ada stasiun TV nasional yg beberapa program siarannya masih aspek ratio tv tabung (4:3) jadinya tampilannya melar kalau dilihat di TV wide (16:9)
Juve Zhang
Abah Disway alumni Tempo, harus bangga Tempo buka berita ACT yg " revenue-nya" kelas kakap konon 750 milyar dan gaji direktur 250 juta wkwkwkwkwkw. Revenue seperti ini jelas kelas kakap mengingat Modal pokok hanya Baliho, iklan di medsos yg murah meriah. Supaya transparan suruh saja IPO go publik wkwkwkwkwk mungkin ada Komentator yg minat jadi Komisaris Independen nya gaji 100 juta wkwkkwkwk
Abdul Wahib
Rasanya bukan pak menteri yg menundukkan bos besar televisi. Tapi internet itu sendiri. Sdh lama bisnis televisi tergusur oleh yutub. Hanya generasi emak saya (60 tahun lbh usianya) yg tetap setia nonton televisi. Itupun hanya acara tertentu. Jadi, kalau skrg bos televisi pada nurut, karena mereka sdh kalah. Pasrah wae
Patrick Dimaya
di seluruh sumatera non ibukota provinsi sepertinya sama semua pak, senasib sepenanggungan.
Dahlan Batubara
Di Mandailing, Sumut, siapa yg punya tv pasti punya payung terbalik (parabola). Tak ada antena tulang ikan. Dari dulu begitu. Makanya tiap rumah pasti ada payung terbalik.
Djokher Djokhers
Zaman kecil dulu di bojonegoro, ayah kalau pasang antena TV ada dua jenis. Satu antena besar menghadap ke barat (untuk tangkap TVRI pusat/jakarta), satu antena kecil menghadap ke timur (tangkap siaran TVRI Surabaya). Yg kecil di atas, yang besar dipasang di bawah. Kedua antena dipasang di tiang bambu utuh; ujung bambu sampai bongkotan/bagian bawah bambu dipakai semua. Dibantu paman dan tetangga untuk merdirikan bambu tiang antena itu Teringat; pas petinju kita ellyas pical main, tv dikeluarin di halaman. Orang sekampung nonton.
Macca Madinah
Berdasarkan pengalaman pribadi di wilayah CIlebut Kabupaten Bogor, yang siaran digitalnya stabil dan bagus: TVRI (ada empat channel, termasuk TVRI World), Net-TV, TransTV-Trans7-CNNIna-CNBCIna, DAAITV, NusantaraTV. Yang tertangkap sinyalnya tapi angot-angotan: O-Channel, KompasTV, Indosiar, SCTV, Inspira, TVMu, kayaknya masih ada beberapa lagi. Yang belum pernah tertangkap sinyal digitalnya: TVONE, MNCTV, RCTI, METROTV. Kalau gak salah, beberapa stasiun kakap memulai gerakan minta ditunda (LAGI), dengan alasan memberatkan rakyat. Untung di artikel Abah dijelaskan, ternyata oh ternyata, alasan "rakyat" itu kedok. Semoga tetap jalan, karena emang buagus tenan, jadi inget pertama kali lihat siaran digital di negara jiran. Ampun deh endonesah-endonesah, ternyata banyak supir di belakang layar.
triyoga
:D memang lebih mudah mencari teman untuk susah bareng. Daripada sukses bareng. meskipun sama2 susah. Cuma beda ending saja
Yasin Ramadhani
Pemegang MUX yg besar itu sudah merasa tv lokal bukan ancaman lagi. Ancaman mereka adalah Youtube, Netflix dan aplikasi-aplikasi streaming. Itulah menurut saya kenapa mereka legowo dan baru sekarang digitalisasi baru bisa diterapkan.
Lukman bin Saleh
Mohon maaf. Dalam komentar sy sebelumnya d bawah, sy menyamakan STB dg receiver digital. Krn bntuknya sama. Mereknyapun sama. Trnyata beda. STB jauh lebih sederhana dan murah dr receiver digital. STB bukan receiver digital tanpa parabola spt yg saya kira. Ini semakin memperkuat dugaan. Terkatung2nya proses migrasi ke tv digital sebenarnya bukan hanya krn masalah biaya yg harus d keluarkan masyarakat. Tp lobi2 kuat pengusaha besar yg ingin mempertahankan monopolinya dalam usaha pertelevisian…
Pryadi Satriana
"Jancuk" bukan dari "Jan Cox", tapi dari kata "ancuk" yg berarti "bersetubuh" (dalam Purwadarminta 1939, Bausastra Jawa). Ditambahkan awalan 'di-' menjadi 'diancuk', ungkapan bernada 'pelecehan' thd lawan bicara. Dlm perkembangannya, mempunyai banyak 'varian', maknanya pun 'meluas', bahkan juga konotasinya menjadi 'baik' (amelioratif), bisa menjadi 'sapaan akrab'. Sebaliknya, ada kata yg 'nilai rasa'-nya (saya lebih suka memakai 'nilai rasa' daripada 'makna') menjadi 'jelek' terpengaruh kata yg mengikutinya, spt pada 'perempuan murahan', padahal 'perempuan' dari bentukan 'per-empu-an' ('yang dihormati'). Jadi, ndhak bener "jancuk" dari "Jan Cox." Wis ngono ae, Cuk.
Pryadi Satriana
Th 2019 di Surabaya, Forum Alumni Jawa Timur untuk Jokowi memberi gelar "Cak Jancuk" untuk Presiden Jokowi. Hal ini menimbulkan polemik, lha wong "Mas Joko" saka Surakarta (Solo) je … . Kalau 'presiden Jancukers' Anda sudah tahu, he..he.. Salam. Salaam. Shalom. Rahayu.
LiangYangAn 梁楊安
Sehubungan dengan komentarnya Pak Agus Rudi Purnomo mengenai istilah "Jancuk" yang dikaitkan dengan nama pelukis "Jan Cox" yang tertulis pada Tank Belanda, maka perlu diimbangi dengan informasi dari sumber yang lain sebagai bahan perbandingan. Sepertinya kurang tepat Pak Agus, karena pada Pertempuran 10 November 1945 kita masih menggunakan Ejaan Lama (Ejaan Yang Disempurnakan mulai dipakai tahun 1972), sehingga tulisan "Jan Cox" pada tahun 1945 akan dibaca "Yan Koks" bukan Jancok. Perlu kajian Etimologi lebih lanjut untuk memastikannya (asal-usul kata Jancok tersebut). Terimakasih.
Ahmad Zuhri
Mau analog atau digital ga ada pengaruh ke saya, karena mmg tidak punya tv di rumah hihihi..
Komentator Spesialis
Dengan transformasi siaran digital dan konvergensi industri media, pada akhirnya urusan iklan, promosi dll.akan dikuasai raja internet seperti google dkk. Karena dibandingkan pasang iklan di media seperti TV, jauh lebih murah, sesuai target pasar, bisa ditracing dan terukur. Contoh simple ya iklan yang muncul di Disway ini. Artinya transformasi ke siaran digital ini akan menjadi lonceng kematian stasiun TV. Cepat atau lambat, namun pasti. Karena cost operasional sebuah stasiun TV terlalu besar. Sedang mereka kurang fokus memproduksi konten. Ditambah isi siaran yang monoton hanya seputar nyanyian, sinetron atau cerita artis. Selamat tinggal stasiun TV. Suatu saat tinggal menjadi kenangan kebesaranmu.
Sumber: