SILAMPARITV.CO.ID - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasan di balik perlunya revisi tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI yang disiarkan secara daring pada Selasa (11/2/2025), Budi menjelaskan bahwa revisi tarif ini bertujuan untuk memastikan sistem jaminan kesehatan di Indonesia bisa berjalan dengan seimbang, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan pembiayaan kesehatan negara serta kepuasan masyarakat.
Budi mengawali penjelasannya dengan menyatakan bahwa pembayaran asuransi kesehatan di Indonesia masih terbilang sangat rendah. "Baru 32 persen belanja kesehatan setiap tahunnya dikeluarkan lewat asuransi," ungkap Budi. Padahal, menurutnya, seharusnya belanja kesehatan di Indonesia bisa lebih tinggi, dengan target mencapai 80 persen hingga 90 persen. "Itu harusnya naik sampai 80 persen, 90 persen. Sehingga kita bisa memiliki tenaga untuk mendorong balik agar harganya yang dikasih ke supply side itu reasonable," ujarnya dikutip dari kompas.com. BACA JUGA:Saham PT Bank Mandiri (BMRI) Terus Menurun, Bank Mandiri Optimistis Kinerja 2025 Akan PulihkanBACA JUGA:PLN UP3 Lubuklinggau Berhasil Raih Juara I di Lomba Cerdas Cermat K3 PLN UID S2JB Peringati Bulan K3.
Budi menambahkan bahwa salah satu tantangan utama dalam pengelolaan anggaran kesehatan adalah menjaga agar belanja kesehatan tidak terkontrol dengan terlalu besar, yang bisa membebani anggaran negara dalam jangka panjang. "Dalam 10 tahun ke depan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan akan (terkena) problem. Karena ini akan menjadi isu politik yang sangat tinggi. Kesehatan dan kematian itu kan tinggi prioritasnya di masyarakat," jelas Budi. Oleh karena itu, Budi menekankan pentingnya untuk merevisi tarif BPJS Kesehatan agar sistem ini bisa lebih seimbang dan mampu memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan tanpa membebani anggaran negara. Revisi tarif yang dimaksudkan juga melibatkan perubahan dalam sistem pengelompokan tarif yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan. Budi menyatakan bahwa pengelompokan tarif yang selama ini menggunakan sistem INA-CBGs (Indonesian-Case Based Groups) perlu digantikan dengan sistem yang lebih sesuai, yakni INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Groups). Sistem INA-CBGs, menurut Budi, masih banyak yang belum cocok dengan situasi di Indonesia dan tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan sistem jaminan kesehatan yang ada. BACA JUGA:Keluhan Mitra PT Pos Indonesia Terkait Jam Kerja yang Tidak Manusiawi dan Pengupahan yang Rendah, Direktur Uta BACA JUGA:Haruskah Air Rebusan Mi Instan Diganti Sebelum Dikonsumsi? Ini Faktanya Sistem INA-CBGs merupakan sistem pengelompokan penyakit berbasis kasus yang digunakan oleh BPJS Kesehatan. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk mengatur pembiayaan dan pemberian layanan kesehatan berdasarkan kelompok penyakit atau kasus yang serupa. Namun, dalam praktiknya, sistem ini dianggap kurang efektif dalam mengatur pembiayaan jaminan kesehatan di Indonesia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan tarif dan pembiayaan, Menkes Budi berencana untuk mengubahnya menjadi sistem INA-DRG. Sistem INA-DRG adalah sistem klasifikasi yang menggabungkan berbagai jenis diagnosis penyakit serta tindakan medis yang dilakukan di rumah sakit dan mengaitkannya dengan pembiayaan untuk pasien. Dengan menggunakan sistem ini, rumah sakit dapat lebih mudah dalam mengelola pembiayaan serta meningkatkan standar pelayanan medis yang diberikan. "Sistem INA-DRG akan memberikan manfaat bagi rumah sakit karena dapat meningkatkan standar pelayanan yang lebih baik bagi pasien," ujar Budi. Selain itu, sistem ini diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih sesuai dengan kebutuhan layanan kesehatan di Indonesia. BACA JUGA:Heboh Kabar Goa Pamijahan Bisa Tembus ke Mekkah, Mitos atau Fakta? BACA JUGA:Pelatih PSMS Akui Ketangguhan Sriwijaya FC Usai Kalah 0-1 di Jakabaring Keputusan untuk merevisi tarif BPJS Kesehatan dan mengubah sistem pengelompokan tarif ini merupakan langkah strategis untuk menjawab tantangan dalam pembiayaan kesehatan yang kerap menjadi beban negara. Dengan sistem yang lebih efisien dan tarif yang lebih terukur, diharapkan BPJS Kesehatan dapat memberikan layanan kesehatan yang lebih baik dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa menambah beban keuangan negara. Budi juga menekankan bahwa revisi tarif ini bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan, tetapi juga agar seluruh pihak yang terlibat dalam sistem kesehatan, baik rumah sakit maupun tenaga medis, dapat merasa lebih puas dengan pengelolaan pembiayaan yang lebih adil dan transparan. "Ini harus balancing, jadi yang dokter rumah sakitnya happy, tapi masyarakat juga happy yang diwakili oleh BPJS untuk menekan balik," tambahnya. Meskipun revisi tarif BPJS Kesehatan masih dalam tahap pembahasan, langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk terus memperbaiki sistem kesehatan nasional agar lebih berkelanjutan dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan perubahan ini, diharapkan Indonesia bisa mencapai tujuan kesehatan yang lebih baik, serta mencegah adanya krisis anggaran di masa depan. BACA JUGA:PLN UID S2JB Gelar Apel Peringatan Bulan K3 Nasional 2025: Komitmen Tingkatkan Kapasitas SDM untuk Keselamatan BACA JUGA:Siapa Raja Kecil yang Disinggung Prabowo? Birokrat yang Menolak Efisiensi Anggaran