Blind Box: Estetika, Sensasi, dan Kapitalisme Emosional

Sabtu 09-08-2025,14:09 WIB
Reporter : Rendi Setiawan
Editor : Rendi Setiawan

 

Kecanduan ini tak hanya bersifat finansial tapi juga psikologis. Blind box bisa menjadi pelarian dari tekanan—kecemasan akademis, kegalauan eksistensial, atau sekedar kebutuhan hiburan instan—yang kemudian membentuk zona nyaman konsumtif tanpa disadari 

BACA JUGA:Rahasia Diet Tanpa Olahraga: 10 Tips Efektif dan Aman untuk Turunkan Berat Badan

BACA JUGA:Rahasia Diet Tanpa Olahraga: 10 Tips Efektif dan Aman untuk Turunkan Berat Badan

FOMO & Simbol Status dalam Era Media Sosial

Fear of Missing Out (FOMO) adalah motor utama berbagai perilaku konsumtif intens ini. Blind box yang dirilis edisi terbatas memicu urgensi: “kalau tidak beli sekarang, ketinggalan tren.” Media sosial memperkuat tekanan ini—koleksi tak lagi pribadi, melainkan pertunjukan status sosial .

BACA JUGA:Rahasia Diet Tanpa Olahraga: 10 Tips Efektif dan Aman untuk Turunkan Berat Badan

BACA JUGA:Parkir Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau Dialihkan ke Alun-Alun Merdeka untuk Kurangi Kemacetan

Kultur Pop Asia & Dominasi Subkultur Estetik

Estetika “kawaii” atau “healing” dari Jepang, Korea, dan Tiongkok mendulang resonansi kuat di Indonesia—meski tidak selalu dimodifikasi sesuai kultur lokal. Hal ini menunjukkan betapa “selera” kita sering dibentuk oleh modal budaya asing, bukan kreasi internal 

 

Penanganan & Kesadaran Konsumtif

Fenomena blind box bukan sekadar tren mainan lucu. Ia adalah instrumen ekonomi emosional yang menyasar titik lunak psikologis dan sosial kita. Beberapa langkah mitigasi:

Edukasi Literasi Konsumen & Finansial – Terutama di kalangan pelajar/mahasiswa, penting memahami taktik pasar dan mengendalikan impuls beli 

Refleksi Emosional Pasca-Pembelian – Tanyakan: “Apakah aku membeli demi kepuasan sesaat atau karena kebutuhan sesungguhnya?” 

kumparan

Kategori :