SILAMPARITV.CO.ID – Sebuah peringatan keras dan menyentuh hati datang dari bumi Wali, Kabupaten Pati, yang selama ini dikenal sebagai daerah agraris dengan budaya gotong royong yang kuat. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan nasional, masyarakat Pati mengirimkan "alarm nyaring" kepada para pejabat: suara rakyat harus benar-benar didengar, bukan sekadar dijadikan hiasan retorika politik.
BACA JUGA:Puan Maharani Minta Penguasa Dengarkan Kritik Rakyat:
Seruan ini mencuat setelah sejumlah warga dari desa-desa di Kecamatan Margorejo, Gembong, dan Juwana menggelar pertemuan terbuka dengan tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan LSM lokal. Mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas kebijakan pembangunan yang dinilai jauh dari kebutuhan riil masyarakat, khususnya petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro.
“Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya ingin agar pembangunan itu benar-benar menyentuh tanah kami, menyentuh kehidupan kami. Bukan hanya megah di laporan, tapi kosong di lapangan,” tegas Slamet Riyadi, seorang petani padi yang telah 30 tahun menggarap lahan di dataran Pati.
Pertemuan yang diberi tajuk “Suara dari Bawah: Rakyat Bicara, Pejabat Harus Mendengar” ini menjadi simbol perlawanan damai terhadap apa yang mereka sebut sebagai “demokrasi top-down” — sistem di mana keputusan diambil di atas tanpa partisipasi nyata dari bawah.
BACA JUGA:Jogging Ringan, Umur Panjang: Olahraga Sederhana yang Bikin Hidup Lebih Sehat dan Lama
Dari Irigasi yang Rusak hingga Nelayan yang Terpinggirkan
Salah satu isu utama yang diangkat adalah kondisi saluran irigasi yang rusak parah akibat proyek jalan tol trans-Jawa yang dinilai tidak memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. “Air untuk sawah kami terganggu. Musim tanam terlambat, hasil panen anjlok. Tapi tak ada yang datang menanyakan kabar kami,” keluh Siti Nurhayati, petani wanita yang juga ketua kelompok tani setempat.
Di pesisir utara, para nelayan kecil mengeluhkan minimnya akses terhadap bantuan alat tangkap dan pelabuhan yang layak. Mereka merasa kebijakan kelautan lebih menguntungkan kapal besar milik korporasi, sementara nelayan tradisional semakin terpinggirkan.
“Kami bukan minta diistimewakan. Kami hanya minta diperlakukan adil. Suara kami kecil, tapi bukan berarti tidak penting,” ujar Budi Santoso, nelayan asal Desa Banyutowo.
BACA JUGA:Perlukah Mencopot Baterai Laptop Supaya Awet? Ini Penjelasannya
BACA JUGA:Soal Matematika Kelas 6 Semester 1
Suara Rakyat Bukan Hambatan, Tapi Kompas Kebijakan
Menanggapi gelombang aspirasi ini, Dr. Diah Kurniasari, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro, menilai bahwa Pati telah menjadi cermin dari ketimpangan komunikasi antara pemerintah dan rakyat.