Beberapa ada yang memilih untuk menyingkir dan melarikan diri ke negeri lain seperti Mataram, Madura, Bali dan lainnya.
Setelah pertunjukan dari gandrung selesai, para Marsan menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu, seperti beras maupun hasil bumi lainnya.
Sebenarnya yang tampak sebagai imbalan tersebut adalah sumbangan yang nanti akan dibagikan pada orang-orang yang keadaannya sangat memprihatinkan di pengungsian serta sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di daerah pedesaan, di pedalaman maupun yang memilih untuk bertahan hidup di hutan dengan segala penderitaan, meskipun perang telah usai.
Mengenai orang-orang yang bersikeras hidup di hutan dengan keadaan memprihatinkan tersebut, pernah disinggung oleh C. Lekkerkerker yang menulis tentang beberapa kejadian usai Bayu dapat dihancurkan oleh gempuran dari Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772.
BACA JUGA:Legenda Sejarah Terbentuknya Danau Toba: Epik Sang Raksasa dan Cinta Abadi
Apa yang dituliskan adalah sebagai berikut ini, pada tanggal 7 November 1772 sebanyak 2505 orang laki-laki dan perempuan telah menyerahkan dirinya pada Kompeni, Van Wikkerman mengatakan, bahwa Schophoff telah menyuruh orang-orang tersebut untuk menenggelamkan tawanan laki-laki yang dituduh mengobarkan amukan masyarakat dan memakan daging dari mayat Van Schaar.
Dikatakan pula, bahwa orang-orang Madura telah merebut para perempuan serta anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga udara pun tercemar oleh mayat-mayat yang membusuk hingga jarak yang cukup jauh.
Berkat munculnya gandrung, seni ini kemudian dimanfaatkan sebagai alat perjuangan yang setiap saat mengadakan pementasan dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa rakyat yang hidup berpencar-pencar di pedesaan, di pedalaman maupun yang menetap di hutan.
Setelah gandrung datang menampilkan pentas tari, orang-orang yang menderita di hutan pun mulai ingin kembali ke kampung halamannya, mulai membentuk kehidupan baru atau ikut membabat hutan Tirta Arum dan kemudian tinggal di ibu kota baru yang dibangun atas prakarsa dari Mas Alit.
Setelah ibu kota baru selesai dibangun, ibu kota tersebut dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang telah di babad yaitu Tirta Arum.
Dari keterangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa tujuan dari kelahiran kesenian tari gandrung ialah untuk menyelamatkan sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun lagi bumi Belambangan di sebelah timur yang telah hancur karena seruan Kompeni.
Gandrung perempuan, pertama kali dikenal dalam sejarah adalah gandrung semi, yaitu seorang anak kecil yang pada saat itu masih berusia sepuluh tahun di tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya oleh masyarakat, pada saat itu Semi menderita penyakit cukup parah.
Segala cara telah dilakukan, bahkan Semi datang ke dukun, namun Semi tetap tidak kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi bernama Mak Midhah pun bernazar, “kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Jika kamu sembuh, saya akan jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Budaya di Musi Rawas, Sumatera Selatan
Setelah mengucapkan nazar tersebut, ternyata akhirnya Semi sembuh dari penyakitnya dan sesuai dengan sang ibu, mak Semi pun dijadikan sebagai Seblang dan memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh seorang perempuan.