Program Pendidikan Militer Gubernur Dedi Mulyadi Meluas, Menuai Pro-Kontra

Program Pendidikan Militer Gubernur Dedi Mulyadi Meluas, Menuai Pro-Kontra

PROGRAM PENDIDIKAN MILITER GUBERNUR DEDI MULYADI MELUAS, MENUAI PRO-KONTRA--ist

SILAMPARITV.CO.ID - Program Pendidikan Militer Gubernur Dedi Mulyadi Meluas, Menuai Pro-Kontra

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali menarik perhatian publik setelah mengumumkan rencana perluasan program pendidikan militer bagi pelajar dan warga sipil ke dua kategori baru: warga bermasalah dan kelompok yang disebutnya sebagai "orang gemulai". Kebijakan ini sontak memicu perdebatan luas di tengah masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik tajam dari aktivis hak asasi manusia dan pemerhati pendidikan.

BACA JUGA:MOBIL ANTIK RIDWAN KAMIL DISEITA KPK, DITITIPKAN DI BENGKEL JAWA BARAT

BACA JUGA:Dukung IPPA Fest 2025, BRI Kuatkan Peran Pemberdayaan Warga Binaan

Program Pendidikan Militer untuk Pelajar Sudah Berjalan

Sejak awal Mei 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menerapkan program pendidikan militer bekerja sama dengan TNI-Polri, yang ditujukan untuk siswa SMP dan SMA. Program ini dirancang untuk membentuk karakter dan meningkatkan kedisiplinan pelajar selama enam bulan. Peserta menjalani pelatihan di sekitar 30 hingga 40 barak militer yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat.

Pemilihan peserta didasarkan atas kesepakatan antara pihak sekolah dan orang tua, terutama ditujukan bagi siswa yang dianggap sulit dibina atau memiliki catatan perilaku bermasalah.

BACA JUGA:PLN Berhasil Pulihkan 100% Kelistrikan Bali, Seluruh Pelanggan Kembali Menyala

BACA JUGA:Gubernur Bali Apresiasi Gerak Cepat PLN Atasi Gangguan Kelistrikan

Rencana Perluasan Program

Dalam pernyataan terbarunya yang disampaikan melalui kanal YouTube pribadinya pada Minggu (4/5/2025), Dedi Mulyadi menyatakan bahwa setelah evaluasi program tahap awal rampung, pihaknya akan memperluas cakupan program ke kalangan dewasa.

“Setelah SMP dan SMA ini berhasil, saya lihat sebulan ke depan ya, maka nanti (pendidikan militer) untuk yang dewasa juga,” ujar Dedi.

Kategori pertama yang disasar adalah warga bermasalah, yakni individu yang kerap melakukan pelanggaran ringan seperti mabuk-mabukan, tawuran, atau nongkrong sembarangan yang dinilai meresahkan masyarakat. Menurut Dedi, pendekatan militer dianggap sebagai solusi alternatif terhadap proses hukum konvensional yang selama ini dinilai tidak efektif.

“Walaupun ditindak pidana, malah tingkat kejahatannya naik signifikan. Jadi nanti bukan hanya kenakalan remaja yang saya tangani, tetapi juga kenakalan dewasa,” tambahnya.

BACA JUGA:Viral! Siswi SD di Cianjur Curhat Sekolah Kontrakan Lewat Surat Terbuka untuk Dedi Mulyadi

BACA JUGA:Harga Emas Turun di Palembang, Peluang Menarik untuk Investasi

Istilah "Orang Gemulai" Picu Kontroversi

Lebih lanjut, Dedi mengungkapkan bahwa kategori kedua yang diusulkan berasal dari masukan warganet, yakni "orang gemulai". Dalam wawancaranya di YouTube Kompas TV pada Senin (5/5/2025), ia menyebut adanya komentar yang menyarankan agar kelompok ini dibina melalui pendidikan militer demi “menjadi lebih tegap”.

“Memang ada tuh komentar di media sosial: ‘Pak Gubernur, anak-anak yang gemulai suruh pendidikan militer biar tegap’,” katanya.

Pernyataan ini menuai kecaman dari berbagai pihak. Banyak yang menilai bahwa istilah "orang gemulai" berpotensi menyasar kelompok LGBTQ+ dan mengarah pada diskriminasi berbasis ekspresi atau identitas gender. Aktivis HAM menilai program ini bisa melanggar prinsip non-diskriminasi dan kebebasan berekspresi.

BACA JUGA:Ammar Zoni Berpeluang Bebas Lebih Cepat, Kuasa Hukum Ungkap Detil Remisi dan Asimilasi

BACA JUGA:Pemkot Palembang Wacanakan Pendidikan Militer untuk Siswa Bermasalah, Lakukan Kajian Mendalam Sebelum Implemen

Namun, Dedi menegaskan bahwa program ini dilaksanakan atas dasar persetujuan orang tua peserta, yang disahkan melalui surat pernyataan bermaterai.

“Gizinya cukup, istirahatnya cukup, olahraganya cukup. Mereka tetap belajar, hanya tempatnya saja di barak,” klaim Dedi.

Respons Masyarakat Beragam

Sejumlah orang tua menyatakan dukungannya atas kebijakan tersebut. Salah satunya Elly, orang tua siswa yang sengaja mendaftarkan anaknya untuk mengikuti program ini.

“Anak saya susah diatur. Saya harap dengan ikut pendidikan militer, dia bisa berubah jadi lebih disiplin,” ungkap Elly.

Di sisi lain, aktivis HAM dan pemerhati pendidikan mempertanyakan legalitas dan etika program tersebut, terutama karena melibatkan warga sipil dan kelompok dengan identitas tertentu. Mereka mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi kebijakan ini agar tidak melanggar hak asasi warga negara.

BACA JUGA:Ayu Aulia Bongkar Bukti Bantah Tuduhan Rekayasa USG dari Lisa Mariana

BACA JUGA:Tren Gaya Hidup Sehat Kian Digemari, BRI Berdayakan UMKM Manfaatkan Peluang di Industri Gula Aren

“Negara harus berhati-hati agar program ini tidak melanggar konstitusi dan hak dasar warga sipil, termasuk hak atas identitas dan kebebasan berekspresi,” kata salah satu aktivis HAM.

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Pendidikan terkait peninjauan kebijakan yang digagas Gubernur Dedi Mulyadi tersebut.

BACA JUGA:Kisruh Rumah Tangga Baim Wong dan Paula Verhoeven: Sosok Niko Surya Jadi Sorotan

BACA JUGA:Mobil Pintar Bukit Asam: Oase Ilmu yang Menyapa Ribuan Siswa

Sumber: