Fenomena Perokok Desa Lebih Tinggi dari Kota, Ini Kata Profesor Unhas

Fenomena Perokok Desa Lebih Tinggi dari Kota, Ini Kata Profesor Unhas

Fenomena Perokok Desa Lebih Tinggi dari Kota, Ini Kata Profesor Unhas--ist

Ia juga menepis anggapan bahwa penerimaan daerah dari cukai rokok menjadi alasan untuk melemahkan kampanye bahaya merokok. Menurutnya, dampak kesehatan yang ditimbulkan jauh lebih merugikan secara jangka panjang.

Salah satu dampak paling serius adalah meningkatnya risiko penyakit tuberkulosis (TBC). Meski BPJS Kesehatan menanggung biaya pengobatan TBC, dampak ekonomi dan sosialnya tetap besar.

“TBC adalah penyakit jangka panjang. Produktivitas penderita turun drastis, dan efeknya menjalar ke keluarga serta lingkungan,” ujarnya.

BACA JUGA:Atalia Praratya Daftarkan Gugatan Cerai Terhadap Ridwan Kamil, Sidang Perdana Segera Digelar

BACA JUGA:Hijaukan Lahan Pembinaan, Lapas Narkotika Muara Beliti Lakukan Penanaman Bibit Jagung

BPJS mencatat biaya rawat inap pasien TBC kelas III berkisar Rp. 150.000 hingga Rp. 300.000 per hari. Biaya pengobatan dapat mencapai Rp. 1 juta hingga Rp. 3 juta, belum termasuk pemeriksaan laboratorium dan rontgen yang berkisar Rp. 800 ribu hingga Rp. 1,5 juta. Bahkan, untuk obat tambahan yang tidak selalu ditanggung, biayanya bisa mencapai Rp. 1 juta hingga Rp. 3 juta. Proses pengobatan dan pemulihan sendiri dapat berlangsung antara tiga hingga enam bulan per pasien.

Data Dinas Kesehatan Sulsel menunjukkan hingga September 2025 terdapat 19.834 kasus TBC, meningkat lebih dari 30 persen dibanding Mei 2024 yang tercatat 10.715 kasus. Sulawesi Selatan pun masuk dalam provinsi prioritas dengan beban TBC tinggi.

BACA JUGA:PLN UP3 Lubuklinggau Gelar Apel Siaga Nataru, Pastikan Keandalan Pasokan Listrik Akhir Tahun

BACA JUGA:1.761 Tenaga Honorer Pemkot Lubuk Linggau Resmi Terima SK PPPK Paruh Waktu Tahun 2025

Secara nasional, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia jumlah kasus TBC setelah Rusia dan China, dengan estimasi 1,09 juta kasus. Sulsel berada di peringkat kesembilan nasional dengan rata-rata dua tahun terakhir mencapai 15.088 kasus.

Tingkat keberhasilan pengobatan juga masih menjadi tantangan. Pasien TBC sensitif obat yang berhasil diobati mencapai 84,7 persen, sedangkan TBC resisten obat sebesar 71,2 persen. Angka ini masih di bawah target keberhasilan pengobatan World Health Organization sebesar 90 persen.

BACA JUGA:Perkuat Kinerja Pemasyarakatan, Lapas Narkotika Muara Beliti Hadiri Rapat Evaluasi Kinerja 2025 Secara Virtual

BACA JUGA:Wujudkan Kolaborasi Penegakan Hukum, Kalapas Hadiri Diskusi Penyamaan Persepi KUHP Dan KUHAP Baru

Hingga 19 Agustus 2025, capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) TBC di Sulsel baru mencapai 62 persen atau sekitar 137.032 jiwa. Sementara itu, dari target temuan 45.472 kasus TBC, baru 16.881 kasus atau 37 persen yang berhasil ditemukan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Andi Saguni, menegaskan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah memperluas deteksi dini, terutama di wilayah dengan akses layanan kesehatan yang masih terbatas.

Sumber: