Ini dia Sejarah Tari Gandrung Asal Jawa Timur Asli Budaya Indonesia

Ini dia Sejarah Tari Gandrung Asal Jawa Timur Asli Budaya Indonesia

Sejarah Tari Gandrung Asal Jawa Timur Asli Budaya Indonesia--

SILAMPARITV.CO.ID - Tari Gandrung merupakan tari tradisional Budaya Indonesia yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur dan telah dipentaskan sejak ratusan tahun yang lalu. 

Tari Gandrung berasal dari kebudayaan Suku Osing dan menjadi wujud rasa syukur atas panen hasil pertanian. Dalam pementasannya, 

Penari perempuan disebut dengan nama Penari Gandrung, sedangkan penari laki-laki disebut Pemaju atau Paju. Meskipun pada awalnya, Gandrung ini ditarikan oleh seorang laki-laki yang bernama Masran.

Tari Gandrung dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan yang masing-masing penarinya memiliki nama.

BACA JUGA:Mengenal Jaran Kepang, Warisan Budaya Jawa yang Harus Dilestarikan

Kesenian gandrung dari Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabatnya hutan Tirtagondo atau Tirta Arum untuk membangun ibu kota Balambangan sebagai pengganti dari Pangpang atau Ulu Pangpang atas prakarsa dari bupati pertama Banyuwangi yaitu Mas Alit yang dilantik pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulu Pangpang.

Tentang asal dari kesenian gandrung tersebut, Joh Scholte dalam makalahnya yaitu Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Gandrung Lelaki antara lain menulis sebagai berikut ini: 

Asalnya ada lelaki jejaka yang bernama Marsan dan ia keliling ke desa-desa bersama dengan pemain musik yang memainkan kendang dan terbang. Sebagai penghargaan dari permainan tersebut, mereka akhirnya diberi hadiah berupa beras yang mereka bawa dalam sebuah kantong.

Apa yang ditulis oleh Joh Scholte dalam makalahnya tersebut, tidak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun temurun, bahwa gandrung pada mulanya dilakukan oleh kaum laki-laki bernama Marsan yaitu penari gandrung pertama. Mereka membawa peralatan musik berupa kendang dan beberapa rebana atau terbang.

BACA JUGA:Ini dia Asal Usul Kesenian Tari Jaranan, Salah Satu Kesenian Budaya Indonesia

Setiap hari, para Marsan ini berkeliling dan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa rakyat Belambangan yang berada di sebelah timur atau saat ini daerah tersebut meliputi Kab. Banyuwangi.

Konon, pada saat itu, sisa rakyat yang tinggal di daerah tersebut hanyalah mencapai 5000 jiwa, karena peperangan yaitu penyerbuan kompeni yang dibantu oleh Mataram serta Madura pada sekitar tahun 1767 untuk merebut Blambangan dari kekuasaan Mengwi, hingga berakhirnya perang Bayu yang cukup sadis, keji maupun brutal dan dimenangkan oleh Kompeni pada 11 Oktober tahun 1772.

Menurut cerita, jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri maupun menjadi tawanan, hilang dan lainnya tidak tentu. Beberapa rakyat mungkin dibuang atau di selong oleh Kompeni dan diperkirakan mencapai hingga lebih dari 60.000 jiwa.

Sementara itu, sisanya yaitu 5000 jiwa rakyat hidup terlantar dengan keadaan yang memprihatinkan, terpencar di desa-desa, di pedalaman atau bahkan banyak yang memutuskan untuk berlindung di hutan. Mereka adalah para orang tua, janda, anak-anak yang yatim piatu.

Sumber: