Model BTP
Oleh : Dahlan Iskan
ADA program baru. Namanya: Mencari Pemimpin Bersih, Transparan, dan Profesional. Pendaftaran sudah dibuka.
Kita memang perlu pemimpin yang BTP (bersih, transparan, profesional). Pemilik program ini tokoh bernama BTP –Basuki Tjahaja Purnama. Yang dulu sering dipanggil Ahok. Mantan gubernur DKI Jakarta itu.
"Pendaftarnya sudah lebih 1.000 orang," ujar Tommy Tjiptadjaja, salah satu aktivis di Yayasan BTP.
Dari 1.000 pendaftar itu akan dipilih 150 orang. Disesuaikan dengan kapasitas pengajaran.
Mereka diseleksi lewat berbagai tes. Salah satu yang penting adalah menulis esai. Yakni esai tentang masyarakat lingkungan kota/kabupaten masing-masing. Lengkap dengan semua persoalannya dan cara menyelesaikannya.
Dari esai itu akan diketahui problem yang ada di lingkungan mereka. Lalu bagaimana cara melayani masyarakat tersebut. Dan akhirnya bisa benar-benar menyelesaikan persoalan masyarakat setempat.
Mereka yang sudah lulus seleksi akan ikut pendidikan khusus. Setiap Jumat malam. Jam 19.00. Lewat zoom. Selama 4 minggu.
Pengajarnya BTP sendiri. Selama 1,5 jam.
Di situlah BTP akan menguraikan prinsip-prinsip kepemimpinannya. "Prinsip beliau itu sederhana. Peduli rakyat sekitar," ujar Tommy.
Prinsip yang lain adalah: harus memulai dari bawah. Jadilah anggota DPRD kota/kabupaten dulu. Lalu naik ke jenjang lebih tinggi.
BTP sendiri memulai dari anggota DPRD kabupaten Belitung. Lalu jadi bupati Belitung. Naik jadi anggota DPR Pusat. Lalu jadi wakil gubernur dan akhirnya gubernur DKI Jakarta.
Saat BTP menjadi bupati Belitung itulah daya tariknya mulai terlihat. Sampai-sampai rakyat Belitung yang Islamnya sangat religius bisa memilih BTP yang Tionghoa dan Kristen.
Para mahasiswa Indonesia di Amerika pun mulai memperhatikannya. Khususnya mahasiswa yang tergabung dalam Fellowship Indonesian Christian in America.
Mereka mengundang Ahok –julukan BTP waktu itu– ke Chicago. BTP diminta ceramah di sana. Mereka lebih terkesan lagi.
"Kita perlu 1000 BTP. Dari suku dan agama apa pun," ujar Tommy. Sayangnya, katanya, Ahok terlalu singkat memimpin Jakarta.
BTP memang tersandung masalah peka. Ia diadili. Dianggap menghina agama. Jaksa menuntut hukuman 1 tahun. Hakim memutuskan 2 tahun.
Setelah menjalani hukuman itu BTP mendapat tugas negara menjadi Komisaris Utama BUMN terbesar Indonesia: Pertamina. Sampai sekarang.
Model kepemimpinan politiknya itulah yang rupanya akan diwariskan lewat pendidikan khusus: mencari pemimpin yang BTP.
Salah satu yang akan diajarkan secara intensif adalah: bagaimana pengelola APBD kota dan kabupaten. Agar benar-benar untuk rakyat.
Setelah 4 minggu diajar kepemimpinan praktis oleh BTP mereka dikumpulkan di Cibubur. Diasramakan di situ. Selama tiga hari: Jumat Sabtu Minggu. Lokasinya di Citraland Cibubur. Tidak jauh dari rumah BTP sekarang.
Peserta itu boleh dari partai politik apa saja. Agama apa pun. Diutamakan yang muda dan agak muda: 25 sampai 50 tahun.
Proyek ini dipimpin oleh profesional Welly Chan. Ia orang Yogyakarta. Alumnus Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ia pernah bekerja sebagai orang keuangan dan kini full timer di proyek BTP.
Tommy sendiri alumni University of Texas di Austin, lalu masuk S2 di University of Chicago. Ketika pulang ke Indonesia Tommy menjadi aktivis lingkungan.
Kini Tommy jadi pioneer untuk memproduksi kantong plastik dengan bahan baku utama dari singkong. Inilah kantong plastik ramah lingkungan pertama di Indonesia –bahkan Asia.
Memang harganya masih lebih mahal dari kantong plastik yang merusak lingkungan. Tapi sudah bisa bersaing dengan kantong dari kertas.
Nama pabrik Tommy: Greenhope. Di Cikupa, dekat Jakarta. Sudah mulai ekspor. Tommy sudah bikin pabrik baru. Perluasan. Dua kali lipat lebih besar. Bulan depan diresmikan.
Presiden Jokowi juga sudah menyaksikan produk plastik ramah lingkungan produk Greenhope. Donny Monardo juga sudah memesan 1,5 juta kantong. Untuk polybag benih tanaman. Dengan demikian polybag itu segera hancur setelah bibit tanaman itu bertumbuh.
Tommy punya konsep baru untuk mendukung program mencari pimpinan model BTP. Ia menciptakan Apps untuk mendukung pengembangan model kepemimpinan itu.
Proyek mencari pemimpin yang BTP tidak hanya sekali itu. Angkatan pertama akan disusul angkatan berikutnya. Dan berikutnya lagi. Tidak akan berhenti.
Satu Ahok pun tumbuh menjadi 1000 BTP. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Pancasalah Laksamana
Lukman bin Saleh
Sayangnya buku yg dulu itu gak sampai2. Padahal sy sudah senang mendapat kenang2an dari org yang luar biasa: Pak Pry…
Kimberly Kusuma
Pagi Pak Dahlan, mungkin salah tata kelola itu juga disebabkan oleh karena budaya kita. Saya kasih contoh menyambung analogi ibu tiri dan pisang. Pada saat mau diputuskan orang lain yg potong pisang, sang Ibu marah karena tersinggung gak dipercaya. Atau salah satu anak menangis karena merasa Ibunya dilecehkan dan lain sebagainya. Akhirnya tetaplah terjadi sang Ibu yg potong pisangnya (supaya nggak gaduh, sesuai dengan budaya kita yg gak suka gaduh2)
EVMF
Pak Mirza, very interesting words "easy to be clever after happened" Barangkali ada benarnya apa yang pernah dikatakan oleh Sir Karl Raimund Popper (Austrian-British philosopher) dan sayang sekali sepertinya Pak Laksamana Sukardi tidak menyadari itu. "Whenever a theory appears to you as the only possible one, take this as a sign that you have neither understood the theory nor the problem which it was intended to solve." (Karl Popper)
Mirza Mirwan
Saya tidak tahu, yang terjadi 20 tahun yang lalu itu termasuk "salah" yang mana. Ketika itu, tahun 2002, saat Laksamana Sukardi menjadi Menteri BUMN ada dua hal yang membuat banyak orang, termasuk saya, sewot dan mengumpat-umpat. Yang pertama, saham INDOSAT dijual ke Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd yang sahamnya dikuasai oleh Temasek. Memang pemerintah masih menyisakan 9,6% sahamnya. Tetapi yang bikin sewot, ketika itu, INDOSAT ibarat angsa bertelur emas. Lha kok dijual. Ketika itu Indonesia hanya mendapat duit setara Rp5,6 triliun dari ST Telemedia. Tetapi 5 tahun kemudian, ketika ST Telemedia menjualnya ke Qatar Telecom QSQ, mereka memperoleh setara Rp16,7 triliun. Hayooo…itu termasuk salah yang mana? Hal kedua, penjualan hak esplorasi gas di lapangan Tangguh ke Tiongkok. Alasannya, ketika itu, harga gas dunia sedang turun. Itulah yang tergambar di benak saya tentang Laksamana Sukardi. Benar kata orang Barat, "easy to be clever after happened". Setelah terjadi barulah Laks menjadi (merasa) pintar. Oh iya, Pak DI, Yudi Latif belum pernah menjadi menteri. Tetapi pernah menjadi Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang kemudian menjadi BPIP. Itupun kemudian Yudi Latif mengundurkan diri. Seingat saya dari UKP-PIP hingga BPIP hanya setahun saja Yudi Latif menjadi pemimpinnya (Juni 2017-Juni 2018).
Kelender Indonesia Lengkap
Horeee… Akhirnya bisa juga komen lewat hape, setelah sekian lama harus komen lewat kompie. Developer disway kayaknya makin pinter …
Juve Zhang
Menteri Keuangan zaman pak Laksamana jadi Menteri BUMN bingung gimana defisit APBN harus ditutup,maka dijual lah Indosat dan Tanker Pertamina, tahun 97/98 krisis moneter parah, semua karyawan BUMN konstruksi dua tahun datang baca koran minum kopi absen pulang akhir bulan gaji tetap ada, sekitar 2 tahun tak ada proyek konstruksi, masa masa suram ekonomi Indonesia. Semua makan Gaji Buta tak produktif. Pak Laksamana kena getahnya. BUMN konstruksi Tiongkok yg super gede malah Road Show ke manca negara "menjajakan diri" buat di beli oleh Investor asing, mereka jual sahamnya IPO 25% buat Investor Asing, setelah itu maju pesat dari ranking kelas nomor sepatu jadi 5 besar dunia, bahkan gak tanggung tanggung perusahaan konstruksi Australia yg dulu sekelas sama mereka sekarang sudah "ditelan 100%" milik BUMN Tiongkok ini, dan pimpinan masih dipegang semua oleh Orang Australia dan berkembang baik. Orang Australia gak pusing ada BUMN Tiongkok menelan 100% perusahaan legendaris nya yg penting karyawan masih gajian dari pada bangkrut wkwkwkwkwk
Pakdhe joyo Kertomas
Salahnya ditambah satu. Jadi 6. SatSalah. Salah yg ke enam salah memilih. Yg tdk kompeten terpilih. Yg kompeten dipilih. Hanya terkenal atau dekat dengan pimpinan. Sistem meritokrasi belum berlaku. Apalagi ada budaya korupsi jamaah. Hanya yg mau kongkalikong yang dipilih. Tapi sesalah salahnya milih tetap ada benarnya. Saat anda memilih Mo Salah sebagai idola. Selamat bersalah salah….ya Mo
Jimmy Marta
Jangankan salah lima (pancasalah), satunya saja yg salah bisa menjadi semua serba salah. Urutan yg pertama harusnya salah lihat. Coba dipikir, jk ini terjadi. Kucing terlihat seperti harimau. Pasti akan ada salah tafsir dan langkah (kaprah) pd tindakan yg diambil. Teman seperti melihat musuh. Harusnya dirangkul, malah ambil senjata atau ambil langkah seribu…
hanya yotup
Ternyata baru terungkap sekarang. Di tulisan kalo ini. Karena seringkali Abah menulis: "dulu, saat masih menjadi sesuatu". Dan kadangkala, diikuti kalimat dogma: "Anda Sudah Tahu" -padahal aslinya kita ini tidak tahu apa²-. Ternyata, setelah sekian purnama Abah tak lagi tahan untuk tidak pamer jabatan lamanya: Menteri BUMN. Yang "Anda Sudah Tahu", hobinya ngundang sang mantan, tapi tidak mau diundang sang pengganti.
ibnuhidayat setyaningrum
Buku itu diluncurkan 30 Agustus. Lalu, tanggal berapa bisa diakses secara gratis ya Pak Dahlan? Sebaik-baik buku tidak akan pernah bermanfaat jika tidak dibaca. Sebanyak-banyaknya buku dibaca akan lebih banyak lagi pembaca nya kalau gratis. Salah satu alasan kenapa budaya literasi bangsa kita rendah? Mungkin karena buku bagus (juga yang tidak bagus) masih terlalu mahal untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Jangankan buku, BBM saja kita cari yang paling murah. Beras juga seperti itu.
Pax Politica
Cina sudah tidak membedakan kucing hitam dan kucing putih asal bisa menangkap tikus, itu yang bikin mereka maju. Di Indonesia, kita masih memilih kucing berdasarkan aliran kepercayaannya.
Bahtiar HS
"A writer writes not because he is educated, but because he is driven by the need to communicate. Behind the need to communicate is the need to share. Behind the need to share is the need to be understood." (Leo Rosten) Seorang penulis menulis bukan karena ia berpendidikan, tetapi karena ia didorong oleh kebutuhan untuk berkomunikasi. Di balik kebutuhan untuk berkomunikasi adalah kebutuhan untuk berbagi. Di balik kebutuhan untuk berbagi adalah kebutuhan untuk dipahami. Nah, kira2 apa ya maksud beliau menulis Pancasalah? Didorong untuk mengkomunikasikan pikirannya? Untuk berbagi gagasan? Kalau melihat jejak sejarahnya sih rasanya untuk yang terakhir itu: kebutuhan untuk dipahami. Bahwa apa yang telah pernah dilakukannya dulu bukan salah satu dari ke-5 SALAH itu, lho. Tapi masuk SALAH ke-6. Salah jual! Tapi karena salahnya hanya Pancasalah, bukan Satsalah atau Saptasalah, maka mohon dipahami bahwa "salah jual" itu benar. Wkwkwk. Dengan kata lain, kebutuhan untuk dipahami itu tidak lain adalah PEMBENARAN.
Sumber: