Tron: Ares — Pesta Visual Futuristik yang Memanjakan Mata, Tapi Kehilangan Jiwa Cerita

Tron: Ares — Pesta Visual Futuristik yang Memanjakan Mata, Tapi Kehilangan Jiwa Cerita

Tron: Ares — Pesta Visual Futuristik yang Memanjakan Mata, Tapi Kehilangan Jiwa Cerita--ist

SILAMPARITV.CO.ID - Ketika Walt Disney Pictures merilis Tron untuk pertama kalinya pada tahun 1982, film tersebut menjadi pionir dalam penggunaan teknologi komputer di dunia perfilman. Meski saat itu banyak kritik yang menyebut alur ceritanya lemah, Tron tetap dianggap sebagai karya visioner yang jauh melampaui zamannya. Film ini kemudian berkembang menjadi kultus klasik yang terus dikenang hingga kini.

Hampir tiga dekade kemudian, Disney kembali membangkitkan semesta digital legendaris itu lewat Tron: Legacy (2010). Dengan visual yang memukau dan soundtrack ikonik dari Daft Punk, sekuel tersebut memperluas dunia The Grid dan memperkenalkan generasi baru pada konsep digital-human hybrid.

Kini, setelah 15 tahun berlalu, Disney sekali lagi mencoba menghidupkan waralaba ini lewat film ketiga berjudul Tron: Ares. Disutradarai oleh Joachim Rønning (Maleficent: Mistress of Evil, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales), film ini mencoba menjembatani dunia virtual dengan dunia nyata — tetapi dengan hasil yang sayangnya masih belum seimbang antara kekuatan visual dan kualitas naratifnya.

BACA JUGA:BOYNEXTDOOR Umumkan Tracklist Album The Action: Leehan Ikut Tulis Lagu Utama Hollywood Action

 BACA JUGA:Tukar Takdir: Tragedi, Trauma, dan Kekuatan Akting yang Menggetarkan Hati

Sinopsis: Pertemuan Dunia Digital dan Dunia Nyata

Kisah Tron: Ares berpusat pada Ares (Jared Leto), sebuah program kecerdasan buatan (AI) supercanggih yang berasal dari dunia digital bernama The Grid. Ares mendapat misi penting yang belum pernah terjadi dalam sejarah Tron: ia harus menyeberang ke dunia nyata.

Langkah Ares ini menjadi titik bersejarah — pertama kalinya entitas digital berinteraksi secara langsung dengan manusia. Namun, pertemuan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Kehadiran Ares memicu konflik besar antara manusia dan AI, mengguncang batas antara teknologi, kesadaran, dan kemanusiaan.

Dari konsepnya, Tron: Ares memiliki potensi luar biasa. Tema tentang hubungan manusia dan AI terasa sangat relevan dengan perkembangan teknologi masa kini. Sayangnya, potensi tersebut tidak sepenuhnya tergali. Film ini cenderung berjalan datar dengan konflik yang terasa dangkal dan kurang emosional.

BACA JUGA:Dwayne Johnson Tampil Total di The Smashing Machine: Potret Gelap Seorang Juara yang Hancur dari Dalam

BACA JUGA:Rebecca Ferguson Mengonfirmasi Kembali Terlibat dalam Dune: Part Three

Visual dan Efek Spesial: Luar Biasa dan Mengesankan

Jika ada satu hal yang benar-benar bisa diacungi jempol dari Tron: Ares, maka itu adalah tata visualnya. Film ini disajikan dengan teknologi 3D modern yang memanjakan mata. Penggunaan warna kontras — terutama nuansa merah dan hitam — membuat setiap adegan terasa hidup, futuristik, dan sinematik.

Dunia digital The Grid kembali dihadirkan dengan gaya yang lebih realistis dan bertekstur dibanding dua film sebelumnya. Detail pada kostum, efek cahaya neon, dan lingkungan virtualnya benar-benar menunjukkan produksi berbiaya tinggi yang digarap dengan penuh presisi.

Sumber: