Sigajang Laleng Lipa,Tradisi Saling Tusuk Atau Baku Tikam di Suku Bugis-Makasar
ilustrasi tradisi sulawesi selatan--freepik
BACA JUGA:Pulau Pasumpahan Bikin Hari-harimu Menyenangkan, Terdapat Kawasan Ekosistem Terumbu Karang
Tradisi ini konon bermula dari sifat komunitas serangga yang memelihara rasa malu atau yang dalam bahasa serangga dikenal dengan rangkaian. Sifat rangkaian ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Bugis, termasuk penyelesaian masalah.
Bahkan ada pepatah yang mengatakan hanya orang yang memiliki siri yang dianggap manusia. Selain itu ada prinsip yang dianut suku bugis yaitu “narekko siri kuh mo lejja-lejja copponna mih kawalie ma'bicara " yang artinya kalau kamu menginjak-injak aibku, ujung-ujungnya yang jadi badik yang bertindak .
Namun sebelum melakukan ritual sigajang laleng Lipa, pihak lawan terlebih dahulu sepakat untuk melakukan perlawanan. Jika salah satu dari mereka meninggal berdasarkan kontrak ini, pihak lainnya tidak akan dihukum.
Sigajang laleng lipat dianggap sebagai upaya terakhir jika perdamaian tidak tercapai melalui perundingan.
BACA JUGA:Mengenal Makna Simbol Naga dalam Budaya Tionghoa
Makna Tradisi Sigajang Laleng Lipa
Menurut kepercayaan, ritual ini mempunyai makna tersendiri, dimana sarung atau Lipa dalam bahasa Bugis diartikan sebagai simbol persatuan dan kekompakan masyarakat Bugis. Dalam ritual Sigajang laleng Lipa, terdapat dua orang lelaki kuat yang mengenakan sarung, kemungkinan mewakili kedua pihak yang berkonflik.
Berada dalam sarung ini berarti mereka berada pada satu tempat dan mempunyai ikatan yang menghubungkan mereka, atau dengan kata lain ikatan antar manusia. Meski terlihat brutal dan mengerikan, namun ritual ini merupakan tradisi orang jahat sebagai upaya terakhir menyelesaikan masalah demi menjaga harga diri yang harus dipatuhi.
Prinsip kepatuhan Siri ( malu ), makna sigajang laleng lipa tidak lain adalah menjaga kehormatan dan harkat dan martabat seseorang.
Pelaksanaan ritual Sigajang laleng Lipa mencakup 5 nilai positif yaitu siri, alempureng (kejujuran), agetengeng (kekuatan), awaraningeng (keberanian) serta pertimbangan dan rekomendasi kemajuan penyelesaian sengketa melalui tudang madeceng dari tahap awalm, fase penyelesaian dan fase kontrak.
BACA JUGA:Rangkaian Pameran di Museum dan Kawasan Cagar Budaya Pada Bulan Februari
Saat ini masyarakat Bugis-Makassar tidak lagi melakukan ritual sigajang laleng Lipa untuk menyelesaikan permasalahan. Namun tradisi itu tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dilestarikan melalui pertunjukan seni budaya.
Sumber: