Meredefinisi Pajak untuk Kemakmuran Bersama, Alternatif Strategis di Tengah Rencana Kenaikan PPN
Ilustrasi Chart Kenaikan --
SILAMPARITV.CO.ID - Salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025.
Namun, proposal ini menimbulkan beragam reaksi, salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang mengkritik rencana tersebut dan menawarkan alternatif yang menurutnya lebih berkelanjutan dan adil.
BACA JUGA:Langkah Proaktif Pemerintah: Dialog Antara Agama di Desa Bunar
Pada sebuah wawancara hari Senin, 18 Maret 2024, Bhima Yudhistira menekankan bahwa daripada meningkatkan PPN, pemerintah seharusnya mempertimbangkan penerapan beberapa jenis pajak baru yang dapat lebih efektif menargetkan segmen yang lebih mampu dalam masyarakat, serta mendukung tujuan jangka panjang pembangunan berkelanjutan.
Alternatif yang diajukan meliputi pajak kekayaan, pajak keuntungan luar biasa dari komoditas (windfall profit tax), dan pajak karbon.
Menurut Bhima, pengenalan pajak kekayaan bisa menjadi langkah inovatif dalam sistem perpajakan Indonesia. Dengan menargetkan 10% wajib pajak dengan aset terbesar, pemerintah dapat memperoleh pendapatan signifikan tanpa membebani mayoritas populasi yang memiliki daya beli lebih rendah.
Sebagai contoh, tarif pajak 2% dari total aset bersih individu yang memiliki kekayaan Rp 10 triliun akan menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 200 miliar per tahun.
BACA JUGA:Traveller Wajib Tahu! Ini Tips Booking Hotel Murah, Mudah, Tanpa Ribet
Selain itu, penerapan pajak karbon juga dilihat sebagai langkah strategis dalam mengatasi perubahan iklim, sekaligus menjadi sumber pendapatan baru bagi negara.
Dengan memajaki emisi karbon, pemerintah tidak hanya akan mendorong praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan tapi juga mendapatkan dana untuk proyek-proyek pembangunan berkelanjutan.
BACA JUGA:Remaja di Lampung Tewas Akibat Perang Sarung, Korban Diduga Terlibat Aniaya
Bhima Yudhistira juga menyoroti dampak potensial kenaikan tarif PPN terhadap perekonomian, terutama pada konsumsi rumah tangga yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kenaikan PPN, menurutnya, dapat mengurangi daya beli masyarakat, sehingga berdampak negatif pada pendapatan negara dari berbagai jenis pajak. Dia mengkritik pendekatan yang hanya berfokus pada penyesuaian tarif pajak tanpa memperluas basis pajak sebagai langkah yang kurang efektif dalam meningkatkan rasio pajak.
Sumber: