Sejumlah tokoh agama menilai bahwa pernyataan terkait sejarah para nabi tidak boleh disampaikan sembarangan tanpa dasar kuat. Menurut mereka, dakwah harus mengedepankan akurasi sanad, referensi kitab, dan etika ilmiah, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Isu mengenai lokasi turunnya Nabi Adam memang bukan termasuk perkara akidah, namun penyampaiannya tetap harus didasarkan pada dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.
BACA JUGA:Geram Istri Diganggu, Suami dan Rekan Bakar Mobil PNS Lebong, Empat Tersangka Kini Ditahan
BACA JUGA:Senpi Ternyata Mainan, Pelaku Perampokan di Lubuklinggau Alami Tangan Putus
Reaksi Warganet: Ajak Ngaji Jauh, Tapi Dalilnya Dipertanyakan
Fenomena ini juga mengundang reaksi beragam dari warganet. Banyak yang menilai bahwa ajakan “ngaji yang jauh” justru menjadi berbalik arah karena sang ustaz sendiri dianggap tidak menyertakan sumber yang valid.
Salah satu komentar viral berbunyi:
“Lah ini riwayat mana turun di Jawa? Kita ngaji kurang jauh atau ustaznya yang kurang baca?”
Warganet lainnya mengingatkan pentingnya mempelajari literatur Islam klasik dari sumber terpercaya, bukan hanya dari cuplikan ceramah tanpa referensi.
BACA JUGA:Jelang Nataru 2026, Korlantas Paparkan Strategi Rekayasa Lalu Lintas dan Prediksi Puncak Mudik
Media Sosial dan Penyebaran Konten Keagamaan
Kasus ini menunjukkan kuatnya pengaruh media sosial dalam menyebarkan konten keagamaan. Ceramah singkat yang kurang akurat bisa dengan cepat viral dan menimbulkan perdebatan besar.
Karena itu, para ulama mengingatkan bahwa seorang dai perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan materi sejarah atau keagamaan yang bersifat sensitif.
Meski demikian, perbedaan pendapat tentang lokasi turunnya Nabi Adam AS tidak mengubah esensi ajaran Islam secara keseluruhan. Yang terpenting adalah menjaga keilmuan dan memastikan bahwa dakwah memberikan manfaat, bukan kebingungan.
BACA JUGA:Imbas Insiden Tumbler Tuku, Bungkusan Nasi Uduk Bikin Satpam KRL Panik