Hingga hari ketiga pencarian, Satria belum juga ditemukan. Bahkan, langkah-langkah besar telah dilakukan dalam upaya penyelamatan, namun keberhasilan tetap menjauh.
Meski eskavator telah menyisir dasar sungai, belum ada tanda-tanda keberadaan balita malang itu.
Seolah takdir telah mempertemukan Satria dengan derasnya air, kepergian kecil ini terjadi saat banjir menerjang.
BACA JUGA:Mimpi Dapat Anak Laki-laki Gemuk Putih, Bapaknya Mimpi Menimba Air Gunung Hingga Tumpah Ruah
Di perbatasan yang rapuh antara Kelurahan Wirakarya dan Karya Bakti, dia lenyap, tak bersisa.
Sungai yang biasanya menjadi sumber kehidupan, kali ini menjadi penjara bagi seorang balita yang terlalu muda untuk menghadapi kekuatannya.
Pada Rabu, 5 Juni 2024, upaya pencarian semakin intensif. Pembersihan sungai bukan lagi tugas sehari-hari, melainkan sebuah misi penyelamatan nyawa.
Petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Lubuk Linggau berjuang, meski bambu-bambu yang menjulang menjadi rintangan tak terduga. Arus yang ganas tak hanya menyulitkan, tapi juga mengancam nyawa mereka yang berusaha.
BACA JUGA:Menghadapi Tantangan Menanggapi Banjir Bandang di Lubuklinggau
Namun, meski rumpun bambu berhasil diatasi, kehadiran Satria tetap menjadi misteri. Air sungai yang kini tampak jernih, seakan-akan menyimpan rahasia yang tak terungkap.
Pertanyaan pun mengemuka: Seberapa lama lagi Satria akan menjadi korban dari kekuatan alam yang tidak terbendung ini? Seberapa lama lagi kita akan menutup mata terhadap realitas bahwa setiap anak yang hilang adalah kerugian besar bagi kita semua?
Pencarian ini menjadi cermin bagi ketahanan kita sebagai masyarakat. Apakah kita mampu bersatu dalam menghadapi bencana alam yang tak kenal ampun?
Apakah kita telah belajar dari tragedi-tragedi sebelumnya, ataukah kita masih terpaku dalam siklus kelalaian dan penyesalan?
Satria, dalam ketidakhadirannya, mengingatkan kita pada kerapuhan hidup. Dia adalah bukti bahwa bahaya bisa mengintai di mana saja, bahkan dalam hal-hal yang kita anggap biasa.
BACA JUGA:RSUD Siti Aisyah dan Petanang Lubuklinggau
Namun, kepergian Satria juga menjadi cermin bagi keberanian dan ketabahan kita. Di balik kepahitan yang melanda, masih ada kekuatan untuk bertahan dan berjuang.
Masih ada cinta yang membara, siap menyongsong masa depan yang tak terduga.
Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Namun, kita masih memiliki kendali atas bagaimana kita meresponsnya.
Kita bisa memilih untuk saling menjaga, untuk saling membantu, dan untuk saling mendukung dalam menghadapi cobaan yang datang.
Mari kita jadikan pencarian Satria bukan hanya tentang menemukan seorang balita yang hilang, tapi juga tentang menemukan kembali kepedulian dan persatuan dalam diri kita.
Mari kita berdiri bersama sebagai satu, untuk membantu mereka yang terjatuh, untuk mencari mereka yang hilang, dan untuk membangun kembali ketika segalanya terasa hancur.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Pastikan Ketersediaan Stok Beras di Gudang Bulog Lubuk Linggau
Pada akhirnya, Satria adalah cermin bagi kita semua. Dia adalah cermin dari ketidakpastian hidup, dari kekuatan alam yang tak terkalahkan, dan dari kekuatan manusia yang tak terduga.
Mari kita menjadikan cerita ini sebagai pengingat bahwa di balik setiap tragedi, masih ada harapan yang menyala, masih ada kebaikan yang mengalir, dan masih ada cinta yang mengikat kita bersama.