Pelantikan 961 Kepala Daerah oleh Presiden Prabowo, Pengamat Sebut Politik Primitif Masih Dominan

Pelantikan 961 Kepala Daerah oleh Presiden Prabowo, Pengamat Sebut Politik Primitif Masih Dominan

Pelantikan 961 Kepala Daerah oleh Presiden Prabowo, Pengamat Sebut Politik Primitif Masih Dominan--ist

SILAMPARITV.CO.ID - Presiden Prabowo Subianto secara resmi melantik 961 Kepala Daerah di Istana Negara pada Kamis (20/2/2025). Pelantikan ini menandai dimulainya era kepemimpinan baru bagi ratusan daerah di Indonesia, termasuk 16 pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah dari Provinsi Sumatera Selatan.

Para pemimpin baru ini terdiri dari satu pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Sumsel serta 15 pasangan Bupati dan Walikota terpilih dari berbagai kabupaten/kota. Namun, pelantikan untuk Kabupaten Empat Lawang masih harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilkada 2024.

Meski pelantikan ini menandai awal kepemimpinan baru, muncul kritik tajam dari pengamat politik Sumatera Selatan, Drs. Bagindo Togar Butar Butar, yang menyoroti bagaimana politik transaksional dan politik uang masih mendominasi dalam proses Pilkada 2024 lalu.

Politik Primitif dan Transaksional dalam Pilkada 2024

BACA JUGA:Rekrutmen Bersama BUMN 2025 Segera Dibuka, Simak Syarat dan Tahapan Seleksinya!

BACA JUGA:Gubernur Sumsel Herman Deru Tunjuk Cik Ujang sebagai Plt Gubernur Saat Ikuti Retret di Akmil

Dikutip dari sripoku.com, Bagindo Togar mengungkapkan keprihatinannya terhadap cara sebagian besar Kepala Daerah terpilih memperoleh kemenangan mereka. Menurutnya, praktik politik uang dan transaksi kepentingan masih sangat masif, sistemik, dan terstruktur.

“Ruang publik kini cenderung skeptis dan pesimis terhadap para pemimpin daerah yang baru saja dilantik. Hal ini tidak lepas dari maraknya praktik politik transaksional dalam Pilkada 2024. Secara ultra sederhana, ini merupakan wujud modern dari sistem barter yang dominan dalam kehidupan masyarakat primitif dulu,” ujar Bagindo Togar.

Ia menjelaskan bahwa di masa lalu, barter digunakan sebagai alat tukar utama dalam masyarakat purbakala. Seseorang bisa menukar hasil pertaniannya dengan ternak atau barang lain yang dibutuhkan. Namun dalam Pilkada 2024, barter ini terjadi dalam bentuk transaksi politik antara pasangan calon (paslon) dengan kelompok elite, individu, maupun komunitas masyarakat.

Bagindo menegaskan bahwa sebagian besar Kepala Daerah yang terpilih bukanlah mereka yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan integritas yang tinggi, tetapi karena mereka memiliki modal besar untuk bertransaksi politik dengan berbagai pihak.

BACA JUGA:Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 7 Halaman 182 Kurikulum Merdeka

BACA JUGA:Bank Sumsel Babel Cabang Lubuklinggau Sukses Gelar Undian Tabungan Pesirah Bertema Takkan Hilang Cintaku Bank

“Pilkada kali ini lebih banyak ditentukan oleh kekuatan uang, bukan oleh visi-misi, pengalaman, atau kredibilitas kepemimpinan,” tambahnya.

Buruknya Kualitas Penyelenggara Pemilu

Selain praktik politik uang, Bagindo juga mengkritik kualitas personal dari penyelenggara Pemilu Kepala Daerah yang dinilainya masih jauh dari standar profesional.

Menurutnya, banyak penyelenggara Pilkada yang kurang independen dan bahkan turut berperan dalam melanggengkan sistem politik transaksional. Akibatnya, hasil Pilkada 2024 tidak mencerminkan pemimpin terbaik yang diinginkan oleh rakyat, melainkan mereka yang mampu membeli suara dengan berbagai cara.

“Jika kita melihat lebih dalam, performa dan latar belakang para Kepala Daerah yang baru saja dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto mayoritas menunjukkan krisis pengalaman, minim kompetensi, serta kurang memiliki konsep yang teruji dalam tata kelola pemerintahan dan manajemen pembangunan daerah,” kata Bagindo.

Masa Depan Pembangunan Daerah Dipertanyakan

BACA JUGA:HDCU Resmi Dilantik, Era Baru Kepemimpinan Sumsel Dimulai

BACA JUGA:Aksi Indonesia Gelap: Mahasiswa Palembang Turun ke Jalan, Desak Evaluasi Program Pemerintah

Dengan kondisi ini, Bagindo pesimis terhadap perkembangan dan kemajuan daerah di bawah kepemimpinan hasil politik primitif ini. Menurutnya, daerah-daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah dari sistem politik transaksional kemungkinan besar akan mengalami kemunduran (set back), stagnasi, atau bahkan berjalan dengan kecepatan yang sangat lambat.

“Maka, tidak heran jika kita hanya pantas mengucapkan 'selamat datang' kepada para Kepala Daerah baru ini, bukan 'selamat bertugas' atau 'selamat bekerja',” kritiknya tajam.

Bagindo juga menyoroti bagaimana banyak Kepala Daerah baru ini hanya mengejar status sosial dan keuntungan pribadi daripada memiliki niat yang tulus untuk bekerja demi rakyat.

“Mereka lebih ingin terlihat hebat dan terpandang dalam lingkaran elite sosial, daripada benar-benar berkomitmen untuk membangun daerah mereka,” tegasnya.

Harapan Publik dan Masa Depan Demokrasi

BACA JUGA:Momen Haru! Yoppy Karim Cium Kaki Ibunda Sebelum Dilantik sebagai Wali Kota Lubuklinggau

BACA JUGA:Adu Spesifikasi: Xiaomi Redmi Note 14 5G vs Infinix Note 40 Pro Plus 5G, Mana yang Lebih Unggul?

Dengan kondisi politik yang masih dikuasai oleh kekuatan uang, bagaimana harapan publik terhadap para Kepala Daerah baru ini?

Bagindo Togar meragukan bahwa masyarakat masih bisa berharap banyak terhadap pemerintahan yang lahir dari sistem politik transaksional. Ia bahkan mempertanyakan apakah masyarakat daerah benar-benar percaya bahwa para pemimpin ini akan membawa perubahan?

"Masih pantaskah publik daerah ini berharap banyak kepada para Kepala Daerah hasil dari proses politik primitif?" pungkasnya.

Sebagai pengamat politik yang telah lama mengikuti dinamika kepemimpinan daerah, Bagindo menekankan bahwa tanpa perubahan sistem politik yang lebih bersih dan transparan, demokrasi di Indonesia hanya akan menjadi formalitas belaka, sementara esensinya akan terus dikendalikan oleh elite yang memiliki kepentingan pribadi.

Pelantikan 961 Kepala Daerah oleh Presiden Prabowo Subianto menandai awal kepemimpinan baru di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Namun, masih banyak catatan kritis terkait bagaimana mereka terpilih, dengan dominasi politik uang dan transaksi kepentingan.

BACA JUGA:Sriwijaya FC Bersiap Hadapi Musim 2025/2026, Manajemen Lakukan Perombakan Tim

BACA JUGA:MTsN 1 Lubuklinggau Sukses Gelar HUT ke-44 dengan Berbagai Kegiatan Meriah

Kritik tajam dari Bagindo Togar Butar Butar mencerminkan kekecewaan sebagian besar publik yang menginginkan pemimpin yang benar-benar memiliki kompetensi dan integritas. Jika sistem ini tidak segera diperbaiki, masa depan pembangunan daerah bisa terancam stagnasi dan kemunduran.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih sadar akan pentingnya demokrasi yang sehat, serta berperan aktif dalam mengawasi kinerja para pemimpin daerah agar tidak hanya sekadar "datang dan terlihat," tetapi juga benar-benar bekerja untuk rakyat.

BACA JUGA:Resep Jamu Temulawak untuk Nafsu Makan, Memperbaiki Fungsi Hati, dan Meredakan Nyeri

BACA JUGA:Berikan Pengarahan Kepada WBP Perempuan, Kalapas Lubuklinggau Sampaikan Tata Tertib, Kewajiban, dan Motivasi


Sumber: