Sigajang Laleng Lipa,Tradisi Saling Tusuk Atau Baku Tikam di Suku Bugis-Makasar
ilustrasi tradisi sulawesi selatan--freepik
SILAMPARITV.CO.ID - Sigajang laleng Lipa merupakan salah satu kebudayaan Sulawesi Selatan. Tradisi ini terutama dilakukan di kalangan masyarakat etnis Bugis-Makassar untuk menjaga harga diri dan martabat manusia.
Menurut peninggalan budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sigajang laleng Lipa atau sitobo laleng adalah ritual pertarungan Lipa dengan menggunakan sarung yang menggunakan senjata tradisional badik.
Bibir sigajang laleng eks suku Bugis-Makassar konon digunakan sebagai simbol kekuatan, kesenian, dan permainan rakyat, meski akhirnya berakhir dengan kematian.
Selain itu, tradisi ini juga dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan permasalahan. Ritual Sigajang laleng Lipa dilakukan untuk menjelaskan kebenaran kepada pihak yang berselisih.
BACA JUGA:Mengenal Suku Dani: Asal Usul, Kepercayaan hingga Tradisi Potong Jari
Bagi yang hidup, artinya pemenang berada di pihak yang benar, sedangkan yang kalah dan kematian berada di pihak yang salah. Tradisi ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat awam saja, namun juga oleh para arungo atau bangsawan.
Sigajang laleng Ritual bibir dilakukan dengan cara menyatukan dua orang laki-laki yang mengenakan sarung. Kedua orang tersebut kemudian saling bertarung dan beradu badik hingga keduanya mati atau keduanya hidup atau salah satu diantaranya mati.
Sejarah Sigajang Laleng Lipa
Laporan Jurnal Universitas Hasanuddin berjudul “Tudang Madeceng: Mentransformasikan Nilai-Nilai Positif Sigajang Laleng Lipa Menjadi Penyelesaian Sengketa”; Tradisi ini konon sudah dimulai pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu. Dahulu, ketika dua keluarga berselisih, solusi terakhirnya adalah perebutan kekuasaan dengan ritual ini.
BACA JUGA:Inilah Profil dan Sejarah Band Radja, Lagu Hits Sejak Tahun 2000-an
Jika ada keluarga yang memiliki harga diri rendah, pertarungan itu dilakukan agar semua masalah cepat berakhir dan pertengkaran tidak berlanjut.
Namun diklarifikasi pula, ritual sigajang laleng Lipa tidak tercatat dalam ingatan raja Gowa-Tallo dan dalam kitab I La Galigo, maupun dalam buku harian Aru Palaka. Ritual ini tidak dibahas secara langsung maupun tidak langsung, yang pernah dilakukan oleh sigajang laleng Lipa pada masa Kerajaan Bugis Sulawesi Selatan.
Dalam Teks sejarah menyebutkan bahwa raja memecahkan masalah mencegah pendarahan.
Jadi para ahli hukum adat mengatakan bahwa ritual ini hanyalah sebuah metafora yang hidup dalam masyarakat Bugis agar masyarakatnya mencintai kehormatan dan martabatnya.
Sumber: