Agus menyarankan agar pengelolaan MBG diserahkan ke kantin sekolah, seperti praktik yang sudah dilakukan di beberapa negara maju.
Menurutnya, dengan cara ini makanan akan lebih segar, higienis, dan mudah diawasi oleh pihak sekolah maupun orang tua.
“Sekolah bersama komite bisa mengelola ini dengan baik. Selain itu, bahan baku bisa disuplai dari UMKM sekitar sekolah, sehingga dana benar-benar berputar di masyarakat,” jelasnya.
Ia menambahkan, dengan sistem kantin, dana Rp. 15 ribu per anak bisa tersalurkan secara utuh, bukan hanya Rp. 7 ribu seperti yang banyak terjadi selama ini akibat rantai penyaluran yang panjang.
BACA JUGA:Gibran Dibilang Mirip Bung Hatta, Jhon Sitorus Sindir: Pakaian Bisa Ditiru, Isi Kepala Tidak!
BACA JUGA:Terbongkar! Istri TNI Selingkuh dengan Junior Suaminya, Pakai Alasan ke Pasar untuk Temui Pratu RH.
Alternatif: Dana Tunai untuk Siswa
Selain melalui kantin, Agus juga membuka opsi agar dana MBG diberikan langsung kepada siswa dalam bentuk tunai, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Dengan begitu, orang tua bisa menyiapkan bekal bergizi dari rumah, sementara sekolah dan guru bertugas melakukan pengawasan.
“Kalau satu bulan anak tidak membawa bekal, guru bisa memanggil orang tuanya. Ini lebih efektif dan mencegah praktik rente,” katanya.
BACA JUGA:Taspen Salurkan Dana Pensiun untuk Sri Mulyani Setelah Purnatugas sebagai Menkeu
Cegah Pemburu Rente dan Kebocoran
Agus juga menyoroti panjangnya rantai distribusi MBG yang melibatkan Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG). Menurutnya, skema ini hanya menguntungkan segelintir pengusaha besar, bukan masyarakat kecil.
Ia menilai, margin keuntungan sekitar Rp. 2 ribu per porsi berpotensi membuat pengusaha meraup Rp. 33,3 triliun secara nasional.
“Kalau margin Rp. 2 ribu dan satu SPPG melayani 3.000 porsi, bisa untung Rp. 150 juta per bulan. Ini bukan Makan Bergizi Gratis, tapi justru ‘Makar Bergii Gratis’ bagi pengusaha besar,” sindirnya.