Budaya Makan Daging Anjing di Permasalahkan, Aktivis: Budaya Sangat Dinamis

Budaya Makan Daging Anjing di Permasalahkan, Aktivis: Budaya Sangat Dinamis

ilustrasi budaya makan daging anjing--freepik

SILAMPARITV.CO.IDKonsumsi daging anjing di Solo sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan sudah sangat melekat dalam budayanya. 

Namun, para aktivis mengatakan budaya harus dinamis dan beradaptasi dengan perkembangan zaman: konsumsi daging anjing di beberapa wilayah Indonesia masih meluas. Salah satunya adalah Solo yang konon merupakan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Beberapa warung daging anjing di Solo diberi label sengsu (tongseng asu), rica-rica gukguk atau kadang juga disebut “Sate Jamu”. Olahannya antara lain sate, rica-rica, tongseng, dan lain-lain.

Saat ini masih ada penggemar olahan daging anjing. Banyak penjual dan pecinta kuliner yang percaya bahwa daging ini memiliki berbagai manfaat, mulai dari meningkatkan vitalitas pria hingga mampu menghilangkan berbagai penyakit seperti asma, serta kelemahan.

BACA JUGA:Berlangsung di Bulan Suro, Mengenal Tradisi Upacara Adat Suran Mbah Demang

Penjual daging olahan untuk anjing sudah ada sejak lama. lama sekali. Misalnya di Solo, ada pedagang yang mengaku sudah tiga generasi menjual produk ini.

"Kami ingin terus menjual daging anjing, karena sudah lebih dari tiga generasi dan ada pasar di sana. Kalau kita berubah akan sangat sulit,” jelas Agus Triyono, Paguyuban Solo Guk-guk, seperti dikutip detikJateng.

Lebih lanjut, menurut sejarawan Kota Solo Heri Priyatmoko, keakraban masyarakat Solo dengan daging anjing sudah ada sejak Belanda tiba di Pulau Jawa. Anjing ini dibawa oleh orang Eropa pada akhir abad ke-19.

"Anjing menjadi makanan manusia di beberapa tempat. Anjing adalah hewan tanpa pemilik di Asia Tenggara", Heri dikutip CNN Indonesia. Bahkan, tradisi makan daging anjing juga pernah disebutkan beberapa waktu dalam surat kabar berbahasa Jawa pertama, Bromartani, terbit 25 Agustus 1881. 

BACA JUGA:Ini Dia Mengenal 8 Jenis Alat Musik kesenian Gamelan dan Cara Memainkannya

Dalam pemberitaan tersebut, praktik makan daging anjing dibarengi dengan aktivitas mabuk-mabukan yang dilakukan masyarakat. Masyarakat Tionghoa pada masa itu.

"Pada akhir tahun 1800-an, tradisi dan budaya mabuk-mabukan menjadi mewabah di Surakarta. Tradisi ini dipadukan dengan tambul (makanan ringan) yang terbuat dari daging dan tulang anjing yang dimasak di dapur," lanjut Heri yang juga penulis buku The History of Solo Culinary Travel.

Berdasarkan laporan Bromartani, Heri menjelaskan bahwa kehadiran orang Tionghoa yang membawa serta kebiasaan minum wine dan makan anjing daging yang mendapat restu kerajaan Solo.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Perlindungan Hewan Indonesia Doni Herdaru Tona mendorong pemerintah Solo untuk menghentikan aktivitas perdagangan anjing. Hal ini diusulkannya berdasarkan aspek kesehatan serta legalitas pengumpulan daging.

Sumber: