SILAMPARITV.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menyoroti persoalan kesejahteraan guru dan dosen di Indonesia yang hingga kini masih jauh dari kata layak. Dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 yang digelar Kamis (7/8/2025), ia secara terbuka mengakui bahwa negara menghadapi tantangan besar dalam memperbaiki gaji para tenaga pendidik ini.
BACA JUGA:Obat Alami Turunkan Asam Urat dan Kolesterol: Bahan-Bahannya Mudah Dijumpai di Dapur
BACA JUGA:Pembobol Situs Judol Ditangkap, Polda DIY Tegaskan Pemain hingga Bandar Akan Dikejar.
“Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, oh menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya tidak besar,” ujar Sri Mulyani.
Pernyataan ini menguatkan keluhan publik yang selama ini telah lama digaungkan, khususnya di media sosial, di mana banyak warganet menyayangkan rendahnya penghargaan negara terhadap profesi guru dan dosen yang berperan vital dalam pembangunan bangsa.
BACA JUGA:Pameran Bonsai Lubuklinggau Hadirkan 200 Jenis Tanaman, Pemanasan Menuju Event Nasional 2025
BACA JUGA:3 Manfaat Bunga Telang yang Nggak Kaleng-Kaleng, Termasuk Bantu Turunkan Berat Badan!
APBN atau Partisipasi Masyarakat?
Sri Mulyani menjelaskan, salah satu dilema utama pemerintah saat ini adalah keterbatasan anggaran negara. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah seluruh pembiayaan untuk meningkatkan gaji guru dan dosen harus ditanggung APBN, atau sudah saatnya masyarakat turut berpartisipasi?
“Ini salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat?” ungkapnya.
Pernyataan ini menjadi refleksi penting bahwa perbaikan kesejahteraan pendidik memerlukan solusi kreatif dan kolaboratif, tidak hanya mengandalkan anggaran negara.
BACA JUGA:Kalapas Lubuk Linggau Berikan Penguatan Tugas dan Fungsi Kehumasan kepada Jajaran
Gaji Dosen Indonesia Tertinggal di ASEAN
Data terbaru dari Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan bahwa gaji dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia hanya 1,3 kali lipat dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika dikonversi, setara dengan 143 kilogram beras—angka yang tergolong rendah dan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga: